Sabtu, 26 November 2011

My Cerpen


Mengejar Turis



Aku melangkahkan kakiku di atas rerumputan yang masih basah diserbu air hujan tadi subuh. Bersama dua teman lain kuluapkan kegembiraanku saat sampai di depan Candi terbesar di Asia Tenggara itu. Sinar mentari yang muncul di sela – sela pepohonan mulai menerpa wajahku yang oval yang dihiasi oleh sedikit jerawat di pipi. Pukul 06.30 memang saat yang tepat menikmati merdunya kicau burung di balik rerimbunan pohon di sekitar Candi Borobudur. Dua sosok turis melewatiku saat aku menginjak anak tangga pertama candi yang terbuat dari batu yang mungkin sudah berusia ratusan tahun. Andai saja mereka tidak berjalan terlalu cepat, pasti akan  kusapa mereka dengan suara besarku yang seringkali mengagetkan. Saat kucoba mengejar mereka, aku tak tahu kemana perginya karena mereka telah hilang dari pandanganku.
“Eh, turis tadi kemana ya?” tanyaku bingung.
“Turis? Kesitu mungkin,” jawab Dwi sambil menunjuk jalan ke arah kiri.
“Emang mau ngapain sih?” sela Ricko.
“Aku ingin sekali foto bersama turis. Hitung – hitung buat koleksi,” jawabku.
“Wah,sama dong. Gimana kalau kita ajak mereka berfoto, pasti mereka mau,” usul Ricko.
“Ide bagus. Ayo kita cari mereka.”
            Kami mulai berjalan mengelilingi jalan – jalan di dalam candi. Satu per satu jalan kami telusuri untuk mencarinya. Tak lupa istirahat sejenak untuk mengendurkan otot – otot kaki yang mulai mengencang karena lamanya digunakan untuk berjalan. Hingga akhirnya sampailah kami pada jalan keluar.
“Aduh, kakiku capek nih. Percuma kita udah muter – muter candi, tapi nyatanya turis itu nggak ada,” keluh Dwi.
“Ya juga sih. Gimana kalau kita cari turis lain aja,” sahut Ricko.
“Ayolah. Kita harus cari turis itu. Jangan menyerah dong!” ajakku meyakinkan mereka.
“Apa istimewanya sih tu turis?” tanya Ricko heran.
“Udahlah,pokoknya kita harus cari. Ayo keliling lagi,” jawabku dengan semangat.
Kami mulai berpencar. Dalam hatiku berkata bahwa alasanku bersitegas un
tuk mencari turis itu adalah karena kecantikan turis perempuannya. Maklumlah namanya juga anak muda. Tak sampai beberapa langkah, aku menemukan turis itu di dekat stupa atas. Saling berbincang dengan bahasa inggrisnya yang fasih. Suaranya yang tak begitu keras membuatku ingin mendekati dan mendengar apa
yang sedang diperbincangkan. Buru – buru kupanggil teman – temanku sebelum mereka jauh. Kami pun berkumpul, menyusun strategi bagaimana caranya mengajaknya berfoto.
“Siapa yang akan ngomong sama turisnya?” tanyaku dengan muka serius.
“Wi, kamu yo!” jawab Ricko sambil menunjuk Dwi.
“Nggak ah. Aku nggak bisa bahasa inggris. Ulanganku aja remidi terus. Kamu aja lus’” kata Dwi mengelak.
“Waduh. Aku nggak pintar ngomong. Kalau kamu,Ko?” tanyaku lagi.
“Sama aja. Aku nggak bisa,” jawab Ricko.
“La terus gimana ngajaknya kalau nggak ada yang berani ngomong.” kataku
dengan rasa pesimis.
Kami mulai berdebat. Sambil membuntuti turis itu, kami masih saling tunjuk satu sama lain. Tidak ada yang berani berbincang dengan turisnya. Jarak 5 meter di belakang turis kami berjalan sambil menunggu sampai ada salah satu dari kita ada yang berani.15 menit sudah kami menunggu tapi hasilnya nihil.
            Lelah mulai melanda saat kami sampai di tempat berbagai macam oleh-oleh dijual. Dengan so
uvenir – souvenirnya yang cantik kami mulai tergoda. Tetapi godaan tersebut masih bisa dilenyapkan oleh besarnya keinginan kami untuk berfoto dengan turis, sehingga kami terus membuntuti. Lama kelamaan, semakin banyak penjual yang terlewati semakin besar pula godaan yang menyerang  hingga akhirnya kami berhenti di salah satu toko yang yang menjual berbagai asessoris.
“Eh,berhenti dulu yuk. Aku mau beli gelang, kayaknya bagus banget,” pinta Ricko.
“Ya, aku juga mau beli buat adikku,” jawab Dwi.
“Terus gimana dengan turisnya?” tanyaku resah.
“Gampang lah, paling juga nanti masih di sekitar sini,” jawab Ricko dengan yakin.
“Ya sudahlah”
            Aku pun ikut membeli gelang dengan 2 anyaman tali berwarna putih. Kurelakan 5 lembar uang seribuan yang ada di saku belakangku untuk membelinya.
”Wi, ayo cepet. Turisnya keburu jauh,” kataku mengingatkannya.
“Ya ya sebentar” jawabnya sambil mengambil uang di dompetnya yang berwarna
kuning itu. “Udah lus, ayo” katanya kembali.
Kami mulai berangkat kembali, tapi ternyata mereka sudah tidak ada di sekitar situ.
 “Ya kan. Gara – gara kelamaan beli, kita kehilangan turisnya,” kataku kesal.
“ Ya sudahlah, ayo kita cari lagi,” kata Dwi.
            Dalam perjalanan kami bertemu Pak Kasmadi, seorang guru fisika yang selalu bersikap ramah pada murid – muridnya. Dengan dua tas kresek di tangan kanannya, badannya terlihat agak sedikit miring. Mun
gkin karena isi tas kreseknya yang agak berat. Wajar juga bila ia kerepotan membawanya dengan usia yang tidak muda lagi.
“Lho Lus, kamu dari mana kok sampai berkeringat gitu” tanyanya padaku.
“Jalan – jalan saja kok pak. Dari candi tadi,” jawabku.
“Oh, ngomong – ngomong kamu bisa menolong saya membawakan tas ini ke bus 1 tidak?” tanyanya sambil menunjukkan tas kresek yang dibawa.
“Bisa bisa pak,” jawabku sambil mengambil tasnya.
            Kami mulai berjalan menuju tempat parkir. Harapan kami untuk menemukan turisnya terasa sirna karena disamping waktu di Borobudur yang tinggal 15 menit lagi, kami harus mengantar tas tersebut ke bus 1 dulu.
“Kalau begini caranya, mana bisa kita temukan turis itu,” pikir Dwi.
“Ya juga sih. Kalau jalan jangan klemar – klemer lah, yang cepat sedikit,” kataku menasehatinya.
“Ya ini juga sudah cepat lus,” bantah Dwi.
            Sesampainya di tempat parkir, kami mulai mencari bus 1. Ternyata, busnya terletak di pojok dekat mobil kijang berwarna silver. Kami segera menuju ke sana dengan keringat yang masih bercucuran. Sudah banyak teman yang berkumpul di dalam bis dan bersiap untuk menuju tempat wisata berikutnya. Itu artinya waktu mungkin tinggal sedikit lagi. Kami pun keluar dengan terburu – buru menuju bus kami, yakni bus 4. Tapi setelah keluar pandangan kami tidak tertuju ke bus, malah ke kedua turis yang tadi kami cari. Mereka  sedang berjalan di trotoar tempat parkir tersebut. Tanpa pikir panjang, kami bertiga menghampiri turis tersebut. Kuberanikan diri untuk mengeluarkan kata demi kata yang kuketahui dalam bahasa Inggris
kepadanya.
“Excuse me. What’s your name?” tanyaku agak gugup.
“I’m Victoria and he is Michael,” jawabnya dengan lancar.
“May I take a picture with you?” tanyaku dengan nada pelan.
“Sure, with pleasure,” jawab salah seorang turis perempuan.
            Akhirnya kami berfoto dengan kedua turis tersebut di tempat parkir. Salah seorang tem
an yang lewat kami suruh untuk memotret dengan handphone ku.
“Hei, busnya akan berangkat. Cepat masuk!” teriak Lasqar yang berada di samping bus. Ia adalah teman yang pendiam, sama sepertiku. Meski tubuhnya agak kurus tapi suaranya lantang.
“Ya sebentar lagi” jawab kami dengan serentak.
Lasqar akhirnya masuk ke dalam bus dan memberitahukan bahwa masih ada 3 anak yang belum masuk sehingga membuat supirnya terpaksa menunggu kami.
“Thanks for you,” kataku sambil bersalaman dengan turisnya. Begitu juga dengan
teman – temanku.
“You’re welcome” jawabnya dengan tersenyum.
Tanpa basa – basi, kami segera lari ke bus yang telah menunggu.
            Perjalanan pun dilanjutkan. Kami bertiga sangat senang bisa berfoto bersama turis tadi. Perjuangan kami ternyata tidak sia – sia. Dengan keberanian yang dilandasi kepercayaan diri yang tinggi, kami bisa mencapai keinginan berfoto dengan turis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Twitter

https://twitter.com/tuluzmilanizti

Menu

Recent Post